header-photo

Pendidikan dan Perempuan

Hiruk pikuk dunia pendidikan kita. Baru saja pengumuman kelulusan Ujian Nasional untuk SMU dirayakan (atau ditangisi), menunggu pengumuman kelulusan di jenjang yang lain dan antrian mendaftar ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Bukan saja para pelajar yang bersangkutan yang sibuk, tetapi terutama para orang tua mereka. Mungkin para orang tua justru sudah merencanakan pendidikan anak-anaknya sebelum anak anak mereka sendiri sadar dengan cita citanya. Di Indonesia prosentase bapak yang berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga masih tinggi, sekitar 70% dibandingkan dengan ibu. Artinya, mayoritas, kepada ibulah pendidikan anak dipercayakanPernah ada anggapan bahwa anak perempuan lebih rajin daripada anak laki-laki sehingga lebih banyak berprestasi dalam pendidikan akademisnya. Sebetulnya anggapan tersebut sulit diberlakukan secara umum. Tetapi mungkin ada anggapan lain yang tidak jauh berbeda tetapi sepertinya lebih tepat. Seorang anak laki-laki memerlukan motivasi yang lebih kuat daripada anak perempuan untuk belajar. Dia harus mempunyai cita-cita yang jelas, seperti, mau sekolah kedokteran dan menjadi dokter spesialis mata, atau merasa harus masuk ITB karena kakak-kakak dan sepupu-sepupunya semua masuk ITB, atau sangat ingin menjadi pengacara yang hebat. Demi semua cita-cita itu seorang anak laki-laki mau belajar dengan tekun. Sedangkan bagi seorang anak perempuan yang tekun, belajar hanya untuk belajar saja sudah cukup.

Lalu bagaimana jika ketekunan itu sendiri terkikis atau hilang sama sekali dari diri pelajar perempuan. Ini tentu ada penyebabnya. Menurut riset, pada dekade ini jauh lebih banyak informasi yang diserap oleh memori otak seorang anak dalam sehari, daripada dekade lalu. Mudahnya, terlalu banyak yang dilihat dan didengar seorang anak sehingga memenuhi memori, bahkan tak jarang juga menguras emosi. Sepertinya otak seorang anak terlalu sibuk sehingga kehilangan sifat tekun pada dirinya. Akibatnya banyak anak perempuan yang enggan belajar dan berprestasi.

Tetapi bukankah banyak perempuan sekarang yang berhasil menduduki jabatan-jabatan tinggi? Baik di pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan. Ternyata, mereka kebanyakan adalah perempuan yang mempunyai cita-cita. Hanya dengan menambahkan ‘cita-cita yang jelas dan spesifik’ dalam pikiran seorang anak perempuan maka dia dapat menemukan kembali ketekunannya.

Sebetulnya, banyak juga di antara para perempuan jaman sekarang ini yang tidak mempunyai cita-cita. Tidak ingin menjadi apa-apa, merasa tidak sanggup bersaing, sehingga semangat belajar menurun dan enggan melanjutkan sekolah. Inilah poin yang mempengaruhi peran ibu yang disebutkan di awal. Menjadi seorang istri ataupun ibu yang berpendidikan sangatlah penting. Seperti yang telah disebutkan juga, perempuan adalah orang yang diamanati pendidikan anak-anaknya. Bukan hanya itu, ibu juga orang yang diajak berdiskusi oleh anak-anaknya, tentang teman-teman, tentang apa yang dialami, tentang masalah yang dihadapi, tentang sekolah, tentang guru, yang tak jarang diakhiri dengan pertanyaan: Apa yang sebaiknya saya lakukan, Bu? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu memerlukan seorang yang mempunyai background knowledge yang cukup dan meyakinkan jika mengambil keputusan. Seorang ibu yang berpendidikan akan cenderung memberi jawaban dan cara menjawab yang lebih baik. Bukankah motivasi ini saja sudah cukup bagi seorang perempuan untuk belajar dan berprestasi secara akademis? Tidak berlebihan jika dikatakan perempuan merupakan tulang punggung pendidikan. Bagaimana cara ibu ‘menyajikan pendidikan’ untuk anaknya, begitulah seorang anak akan terdidik.


Aprilia Sakti Kusumalestari

0 komentar:

Posting Komentar