header-photo

Ujian Kesetaraan

Kelompok belajar biasanya mempersiapkan pesertanya dalam waktu singkat. Mereka adalah orang-orang yang sudah melewati batas waktu umur ujian seharusnya. Misalkan ujian sekolah dasar seharusnya sudah mereka jalani sewaktu berusia 12 tahun. Karena usia mereka sudah lebih dari 12 tahun, bisa saja diikutkan ujian Paket A melalui kelompok belajar. Siswa yang pernah lulus sekolah dasar tetapi tidak melanjutkan sekolah, bisa saja diikutkan ujian kesetaraan Paket B, tiga tahun setelah tahun kelulusannya dari SD. Begitu juga dengan Paket C, boleh diikuti oleh peserta yang sudah tiga tahun lulus dari SMP-nya.Praktisi homeschooling cukup beragam. Kurikulum homeschooling di Indonesia belum dibakukan sehingga kebanyakan dari mereka menggunakan kurikulum sekolah formal yang diadaptasi. Beberapa diantaranya mengadaptasi habis-habisan. Karena alasan ini, banyak sekolah negeri tingkat SMA dan SMP enggan menerima siswa bersertifikat Paket A atau B yang berembel-embel homeschooling. Jika jumlah bangku sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan peminatnya maka sekolah yang sudah mempunyai baku untuk kualitas murid-murid barunya dapat melakukan ujian seleksi. Sedangkan yang tidak punya, lebih suka menolak dan menerima murid yang berijasah sekolah. Padahal, tidak sedikit juga dari praktisi homeschooling ini yang mengikuti program di luar sekolah formal, justru karena ketidakpercayaannya kepada sistem pendidikan formal.

Peserta peserorangan biasanya mendaftar di bawah lembaga masyarakat atau pendidikan tertentu, seperti pondok pesantren. Mereka mengikuti ujian kesetaraan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bangku kuliah misalnya. Karena di antara mereka adalah orang-orang yang ingin mendalami agama, atau atas kemauan orang tuanya, tetapi kebanyakan perguruan tinggi tidak menerima ijasah pesantren. Pilihan seperti ini rupanya sudah berjalan bertahun-tahun. Sampai saat ini tidak sedikit dari mereka yang berkuliah di luar negeri. Tentu semua bergantung dari pribadi masing-masing, ketekunan belajar, kemandirian dan kesempatan.

Peserta yang lain adalah siswa-siswi yang tidak lagi berminat mendapatkan ijasah sekolah. Daripada mengikuti pelajaran ,yang mereka rasa menjenuhkan dan melelahkan, satu tahun lagi, banyak dari mereka yang memilih sertifikat ujian kesetaraan sebagai pengganti ijasah.

Beragamnya peserta ujian kesetaraan dan kurang ketatnya peraturan, memungkinkan adanya prosedur-prosedur yang disimpangkan dalam pelaksanaan ujian. Mulai dari persyaratan peserta yang tidak sesuai dengan data sebenarnya, pengawasan ujian yang tidak ketat dan soal-soal yang jatuh ke tangan yang salah sebelum pelaksanaan ujian. Atau contoh praktisnya ada siswa yang baru satu tahun lulus dari SMP bisa mengikuti ujian Paket C, padahal tidak ada catatan extraordinary-nya dari psikolog. Contoh lain misalnya saling tanya jawaban dengan sms atau siswa yang sudah tahu soal yang akan keluar sebelum waktu ujian. Bukannya tidak mungkin hal-hal seperti ini juga terjadi dalam proses ujian nasional.

Saling ketidakpercayaan ini membingungkan bagi para peserta didik yang berusaha mencari mana yang lebih benar. Kebanyakan mereka akan memilih yang lebih umum sebagai standar kebenaran. Tetapi, sebaiknya semua kembali kepada nilai-nilai pribadi dan tujuan hidup masing-masing. Jika setiap warga negara mau berpikir lebih terbuka, konsisten dan bersungguh-sungguh, sebetulnya banyak kesempatan untuk mencapai cita-cita. Ironisnya dalam sistem pendidikan yang terlalu kaku, jangankan untuk mencapai cita-cita, untuk mempunyai cita-cita saja para pelajar sudah tidak punya kesempatan.


Aprilia Sakti Kusumalestari

0 komentar:

Posting Komentar